Sastra Hindia Belanda merupakan rumpun kesusastraan Belanda yang menggunakan bahasa Belanda mengangkat atau membicarakan kehidupan di negeri jajahan Hindia Belanda, ditulis oleh orang-orang Belanda, orang Indo keturunan Belanda dan bangsa eropa lainnya. Dalam bentuknya, bukan hanya imajinasi atau rekaan, tetapi sebagian merupakan catatan perjalanan, buku harian kapten kapal, surat kenangan, esai, uraian pengamatan keadaan tempat, alam dan masyarakat.
Penulis-penulis tersebut berusaha menggambarkan keadaan Hindia Belanda. Dalam penggambaran kehidupan kolonial kita bisa baca buku kajian Lily Clerk yang berjudul Mensen in Deli, een Maatschappijbeeld uit de belletrie (Orang-orang Deli, gambaran masyarakat dari kesusastraaan). Buku ini berdasarkan roman-roman yang ditulis oleh enam pengarang Hindia Belanda: M.H. Szekely Lulofs, L. Szekely, J. Manders, H. Veersema, J. Klein, dan H. Gorter.
Tentang situasi Hindia Belanda kita bisa baca Bas Veth dalam Het Levern In Nederlandsch-Indie (Kehidupan di Hindia Belanda) 1900, karya Koster dalam Uit de Nogelaten Papieren van een Indischen Nurksrs (dari pengingggalan tulisan seorang pengomel di Hindia) 1940. Karya Louis Cauperus dalam de Stille Kracht (Ilmu Gaib) 1990, dan penulis-penulis lain seperti Henri Forel dan G.J. Resink.
Ada juga beberapa karya yang mengangkat tokoh pribumi secara agak dominandalam karyanya, di antaranya; De Stille Kracht karya Louis Couperus, Orpneus in de Desa (Dewa Musik di Desa) karya Augus, de Wit dan Koeli (Kuli) karya M.H. Szekly-Lulofs.
Selain itu pandangan orang belanda terhadap orang Indonesia yang lamban, malas, bodoh, jorok, suka ngomong, boros. Bisa kita lihat pada karya K. Wijbrands dalam esai Tropenstijl (Gaya Daerah Tropis) 1921, M.H. Szekely-lulofs dengan karyanya Rubber (Karet) 1931, W. Buning dengan karyanya In en Om de Kampong (di dalam dan di sekitar kampung). Ada juga yang sungkan pada sosok seorang haji. Hal ini dapat kita lihat dalam karya-karya Cauperus (De Stille Kracht). Maurits (Uit de Suiker in de Tabak) 1883, Hendri Borel (Wijsheid en Schoonheid Uit Indie) 1904.
Sebagian lagi penulis Belanda menunjukan rasa prihatin. Ini dapat kita lihat pada karya Multatuli dalam roman Max Havelar (1860), F.W. Junghuhn dalam renungan filsafat berjudul Licthen Schaduwbeelden Uit de Binrenlanden van Java (Bayangan Gelap dan Terang dari Pedalaman Pulau Jawa) 1867 dan W. R. Van Heevell dalam karyanya De Emancipatie der Slaven de Nedelandsch Indie (Kebebasan Budak di Hindia belanda) 1848.
Selain itu kesombongan orang Belanda yang kemudian diikuti oleh orang-orang Indo juga menjadi pembahasan dalam karya-karya priode ini. Di antaranya Jan Fabricius dalam Totok en Indo (Totok dan Indo) 1915, Handry van Wermekerken (Indo) dalam karyanya Tropenadel (Bangsawan Daerah Tropis) 1961. Selain itu kesombongan rasial yang dimiliki orang Indo tidak luput dibahas lewat karya J.H.W. Veenstra dalam Diogenes in de Tropen (Diagones di Daerah Panas) 1947.
Kemudian pada tahun 1935 muncul kelompok pengarang Indo, seperti E.du Perron, e. Breton de Nijs dan Beb Vuyk yang dalam roaman mereka telah menyatakan diri sepenuhnya dengan masyarakat dan bangsa Belanda dan kebudayaan Eropa.
Orang-orang cina yang memiliki peranan penting dalam kehidupan kolonial tak luput di bahas. Di antaranya dalam karya Bas Veth dan J.F. G. Brumund.
Dilihat dari nilai seni, sastra Hindia Belanda, kurang mampu menunjukan taraf yang tinggi. Imajinasi yang tidak merangsang sedang sesuasananya dan bentuk penyampiannya tidak menampakkan variasi yang baik. Pengaranya hanya menggambarkan realitas kolonial.
0 komentar:
Posting Komentar